Infoombbsiberindonesia,com.
Pangkalpinang – Aroma busuk pemerasan kembali menyeruak dari balik tembok Lapas Kelas IIA Tuatunu, Pangkalpinang. Kali ini, sorotan tajam mengarah kepada seorang oknum wartawan bernama Sudarsono alias Panjul, yang disebut-sebut mengelola portal media online TerasBabel.my.id. Selasa (19/8/2025).
Nama Panjul mendadak ramai setelah Yulianto Satin (48), warga binaan Lapas Kelas IIA Tuatunu, mengungkapkan adanya dugaan praktik pemerasan yang dilakukan terhadap dirinya.
Modusnya: menggunakan pemberitaan di medianya sebagai alat tekan, lalu meminta sejumlah uang dengan dalih agar berita itu dihapus atau ditarik (take down).
Modus Pemerasan: Berita Dijadikan Alat Tekan
Menurut Yulianto, Panjul awalnya menyebarkan link berita yang menuding dirinya dan seorang warga binaan lain bernama Toni Tamsil alias Aki bebas menggunakan handphone dan menikmati fasilitas mewah di dalam blok C hunian mereka.
Dalam pemberitaan itu bahkan disebut ada kompor listrik, mini proyektor, akses internet, hingga berbagai perlengkapan mewah lainnya.
Namun, menurut Yulianto, tuduhan itu fitnah belaka. “Tidak benar kami bebas menggunakan HP, apalagi fasilitas mewah seperti yang dituduhkan. Itu mencoreng nama baik saya dan institusi Lapas,” tegasnya.
Yulianto mengungkapkan, Panjul kemudian menyampaikan kepada petugas Lapas bahwa jika berita tersebut tidak ingin meluas atau tersebar ke grup WhatsApp maupun media sosial lainnya, dirinya harus mengeluarkan uang antara Rp2,5 juta hingga Rp5 juta agar berita tersebut dihapus atau ditarik dari peredaran (take down 404).
“Jadi seolah-olah dia pahlawan, pura-pura membantu menjembatani ke jejaring redaksi KBO Babel, padahal semua percakapan WA itu diarahkan agar duit segera ditransfer,” ujar Yulianto saat dibesuk redaksi jejaring media KBO Babel, Senin (18/8/2028), didampingi petugas Lapas Mulya Nopriansyah.
Pola Lama: Mengganti Nomor WA, Memainkan Peran Ganda
Yang lebih mengejutkan, Panjul disebut menggunakan beberapa nomor WhatsApp berbeda seolah-olah dirinya adalah wartawan lain dari jejaring media berbeda.
Dari percakapan WA yang ditunjukkan, Panjul menakut-nakuti bahwa berita tersebut bisa diperbanyak atau dicopas oleh media jejaring KBO Babel jika tidak segera “diselesaikan”.
Bahkan, ia mengaku bisa menjadi mediator agar “serangan pemberitaan” tidak meluas, asalkan ada uang yang ditransfer.
“Padahal dia sendiri yang bermain, membuat skenario seolah-olah ada tekanan dari wartawan lain,” ungkap Yulianto.
Dengan modus semacam ini, Panjul membungkus dirinya sebagai “penolong” yang seolah berjasa meredam pemberitaan, padahal sesungguhnya ia sendiri aktor utama pemerasan.
Pelanggaran UU Pers dan UU ITE
Jika ditelisik lebih dalam, tindakan Panjul bukan sekadar dugaan pemerasan, tetapi juga melanggar aturan dasar dalam dunia pers.
1. UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 secara jelas menyebutkan bahwa perusahaan pers wajib berbadan hukum. Faktanya, setelah ditelusuri, portal TerasBabel.my.id yang dikelola Panjul tidak terdaftar sebagai badan hukum di Ditjen AHU Kemenkumham RI. Hal ini berarti media tersebut tidak sah secara hukum sebagai perusahaan pers.
Pasal 9 ayat (2) UU Pers menyebutkan: “Perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.” Dengan tidak terpenuhinya syarat ini, maka segala aktivitas jurnalistik TerasBabel.my.id tidak bisa mengklaim perlindungan UU Pers.
2. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang disahkan Dewan Pers juga dilanggar secara nyata. Pasal 1 KEJ menegaskan bahwa “wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Sementara, apa yang dilakukan Panjul jelas memperlihatkan niat buruk: menjadikan berita sebagai alat pemerasan.
Selain itu, Pasal 6 KEJ juga mengatur bahwa wartawan tidak boleh menyalahgunakan profesi. Fakta bahwa Panjul meminta uang agar berita dihapus, adalah bentuk penyalahgunaan profesi yang mencederai marwah pers.
3. UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 juncto UU Nomor 19 Tahun 2016 juga bisa menjerat perbuatannya. Pasal 27 ayat (3) menegaskan larangan setiap orang untuk dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Tuduhan dalam berita fitnah yang diunggah TerasBabel.my.id dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik melalui media elektronik. Apalagi, digunakan untuk menekan korban agar membayar uang tebusan.
Dengan demikian, Panjul berpotensi dijerat pasal berlapis: pemerasan (KUHP Pasal 368), pencemaran nama baik melalui ITE (UU ITE Pasal 27 ayat 3), serta pelanggaran UU Pers.
Pers Tidak Boleh Jadi Alat Pemerasan
Yulianto menegaskan bahwa dirinya akan meminta izin kepada Kalapas untuk membuat laporan resmi kepada pihak kepolisian. Langkah itu penting, katanya, bukan hanya demi nama baik pribadi, tetapi juga demi marwah lembaga Lapas dan profesi wartawan itu sendiri.
“Profesi pers itu mulia. Kasihan wartawan lain jadi ikut rusak karena ulah segelintir oknum yang menyalahgunakan profesi pers untuk menekan atau memeras,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, ahli pers Dewan Pers, Mahmuh Marhaba, beberapa waktu lalu menegaskan bahwa jika ada media yang tidak berbadan hukum dan tidak terdaftar di Ditjen AHU Kemenkum RI , maka masyarakat yang dirugikan tidak wajib melaporkan ke Dewan Pers. Mereka boleh langsung menempuh jalur hukum. Pernyataan ini memperkuat dasar hukum bagi Yulianto untuk melaporkan Panjul ke polisi.
Media Abal-Abal, Ancaman Bagi Demokrasi
Fenomena media “abal-abal” seperti TerasBabel.my.id sejatinya merupakan penyakit yang merusak kepercayaan publik terhadap pers.
Di satu sisi, pers diakui sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi mengawasi, mengkritisi, dan memberikan informasi yang benar kepada publik.
Namun, di sisi lain, keberadaan media tidak berbadan hukum yang dijadikan kedok untuk memeras, justru menodai demokrasi itu sendiri.
Kasus Panjul ini harus menjadi momentum bagi aparat penegak hukum untuk menertibkan media yang tidak jelas legalitasnya. Sebab, jika dibiarkan, praktik semacam ini tidak hanya merugikan individu atau institusi, tetapi juga menghancurkan citra pers secara keseluruhan.
Kasus dugaan pemerasan oleh Panjul menjadi peringatan keras bahwa pers sejati tidak pernah lahir dari niat jahat. Pers lahir untuk menyuarakan kebenaran, bukan untuk menakut-nakuti lalu meminta tebusan.
Kini, bola ada di tangan aparat penegak hukum. Jika laporan Yulianto benar-benar melaporkan dan diproses, maka publik berharap kasus ini tidak berhenti di tengah jalan.
Penegakan hukum yang tegas bukan hanya akan memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga akan menjadi pesan kuat: profesi wartawan tidak bisa dijadikan tameng untuk kejahatan.
(Mung Harsanto/KBO Babel)