Infoombbsiberindonesia,com.
Mentok, Bangka Barat – Langit cerah Sabtu pagi, 17 Agustus 2025, seperti sengaja menyambut perayaan terbesar bangsa: Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Di Lapangan Atletik Kompleks Pemkab Bangka Barat, ribuan pasang mata tertuju pada kibaran Merah Putih. Derap langkah pasukan pengibar bendera, dentuman lagu kebangsaan, hingga tepuk tangan masyarakat berpadu menjadi satu irama: irama kemerdekaan.
Namun, di balik gegap gempita itu, ada sebuah adegan yang diam-diam menyentuh sisi terdalam makna kemerdekaan. Di panggung utama, tepat setelah prosesi upacara, lima orang sederhana dipanggil naik. Mereka bukan pejabat, bukan pula tokoh besar. Mereka adalah rakyat kecil, para mustahik yang berhak menerima zakat, infak, dan sedekah.
Di hadapan Bupati Bangka Barat Markus, S.H., Ketua DPRD H. Badri Syamsu, Kepala Kejaksaan Negeri, Dandim, serta Ketua Baznas Bangka Barat Drs. Lili Suhendra Nato, mereka menerima amplop santunan. Adegan itu tampak sederhana, namun sarat makna: kemerdekaan bukan hanya soal pengibaran bendera, melainkan juga keberanian negara untuk hadir memberi harapan kepada rakyat yang selama ini dibebani keterbatasan.
Baznas Bangka Barat pada momentum itu menyalurkan bantuan untuk 200 penerima manfaat zakat, infak, dan sedekah. Bantuan tersebut tidak sekadar seremonial, melainkan hadir dalam beragam bentuk: mulai dari Bantuan Berkah Bersama (Jadup bulanan), bantuan berobat, seragam sekolah, biaya kuliah (UKT), hingga SPP siswa SMA/K swasta.
Ketua Baznas Bangka Barat, Drs. Lili Suhendra Nato, menegaskan bahwa makna kemerdekaan harus dihidupkan dalam bentuk kesetaraan.
“Janganlah mereka yang tidak mampu diperlakukan tidak adil. Kemerdekaan itu ketika mereka bisa mendapatkan hak dan keadilan. Walaupun sedikit, paling tidak kami bisa membantu,” ujarnya, Kamis (21/8/2025).
Ia juga mengungkapkan, hampir 99 persen dana Baznas Bangka Barat berasal dari zakat, infak, dan sedekah ASN, PHL, serta honorer Pemkab Bangka Barat. Dana itu tidak pernah disimpan, melainkan langsung dikembalikan ke masyarakat.
“Ini loh, uang yang kami kumpulkan itu kami bagikan kembali. Dana dari mereka untuk program mereka juga. Jangan sampai ada kesan bahwa Baznas punya uang sendiri. Semua kembali ke masyarakat Bangka Barat,” tegasnya.
Di antara penerima santunan, ada Siti Aminah (52), ibu rumah tangga asal Mentok yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci. Baginya, santunan yang ia terima bukan sekadar amplop.
“Saya tidak menyangka bisa menerima bantuan di hari kemerdekaan ini. Rasanya benar-benar seperti merdeka, hati jadi ringan. Uang ini bisa saya pakai untuk kebutuhan dapur, anak-anak pun bisa ikut makan enak di hari besar ini,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Cerita lain datang dari Rahman (19), mahasiswa asal Jebus yang hampir putus kuliah.
“Saya sempat takut tidak bisa lanjut kuliah semester depan karena biaya. Tapi dengan bantuan ini, saya merasa punya kesempatan lagi untuk meraih cita-cita. Terima kasih kepada Baznas, ini kemerdekaan yang nyata buat saya,” katanya penuh semangat.
Testimoni mereka menegaskan bahwa kemerdekaan tidak melulu soal bebas dari penjajah, melainkan juga bebas dari rasa lapar, bebas dari cemas biaya pendidikan, dan bebas dari ketidakadilan akses sosial.
Meski hanya lima orang penerima bantuan hadir di panggung sebagai simbol, Baznas memastikan ratusan santunan lain telah disalurkan langsung melalui kantor mereka. Di sinilah perayaan kemerdekaan menunjukkan paradoksnya: ketika negara berbicara tentang heroisme masa lalu, Baznas hadir dengan jawaban konkret untuk penderitaan masa kini.
Kehadiran pejabat daerah Bupati Markus, Ketua DPRD Badri Syamsu, Kajari, hingga Dandim menegaskan bahwa Baznas tidak berjalan sendirian. Ada sinergi antara pemerintah daerah dan lembaga zakat dalam memastikan rakyat kecil ikut merasakan arti kemerdekaan.
Namun, di balik seremoni itu, ada realitas keras yang tak bisa diabaikan. Data internal Baznas memperlihatkan bahwa jumlah mustahik di Bangka Barat masih tinggi, terutama di kalangan keluarga nelayan kecil, buruh harian, dan mahasiswa dari desa-desa. Bantuan yang digulirkan Baznas memang memberi kelegaan sesaat, tapi belum cukup mengangkat mereka dari jerat kemiskinan struktural yang berakar dalam.
“Intinya masyarakat itu bisa ikut bahagia dengan dapat bantuan dari Baznas. Mereka merasa merdeka. Paling tidak ikut merasakan itu,” kata Lili Suhendra, dengan nada yang realistis.
Jika ditarik lebih jauh, kondisi ini menyingkap persoalan yang lebih mendalam: kemerdekaan ekonomi rakyat kecil masih jauh dari kata selesai. Baznas dengan segala keterbatasannya berusaha menjadi jembatan. Namun, beban besar itu sesungguhnya merupakan tanggung jawab negara yang lebih luas.
Dengan basis dana yang nyaris sepenuhnya bergantung pada zakat ASN dan honorer, Baznas tidak mungkin menutup seluruh kebutuhan masyarakat. Maka, santunan kemerdekaan yang dibagikan pada 17 Agustus itu, sesungguhnya lebih tepat dipahami sebagai panggilan moral, bukan solusi struktural.
Momen di lapangan atletik pada HUT ke-80 RI itu menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tidak boleh berhenti pada simbol bendera, lagu kebangsaan, atau barisan pasukan. Kemerdekaan harus menjelma dalam bentuk yang paling sederhana sekaligus paling nyata: pangan yang cukup, pendidikan yang terjangkau, dan kesehatan yang layak.
Baznas Bangka Barat, lewat program-program kecil namun konsisten, menunjukkan bahwa zakat bukan hanya kewajiban agama, melainkan juga instrumen sosial yang mampu meretas rantai kemiskinan.
Dari wajah Siti Aminah yang lega karena bisa menyediakan makan enak untuk anak-anaknya, hingga semangat Rahman yang kembali menyala untuk kuliah, kita melihat bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya milik pahlawan masa lalu. Kemerdekaan juga harus dirasakan mereka yang hari ini masih berjuang di tengah keterbatasan.
Dan di situlah peran Baznas Bangka Barat: membawa makna kemerdekaan dari panggung seremoni menuju perjuangan sehari-hari rakyat kecil.
(Didi/Tim KBO)