Infoombbsiberindonesia com,
Bangka Barat.
Gedung Sriwijaya Unit Metalurgi Mentok penuh sesak oleh pemuda, tokoh ormas, dan aparat desa. Mereka menghadiri sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama H. Ustadz Zuhri M. Syazali, anggota DPD RI asal Bangka Belitung.
Alih-alih hanya mengulang teks konstitusi, Zuhri menjadikan forum itu ruang gagasan. Ia berbicara tentang ekonomi, pendidikan, optimisme desa, hingga cara baru menyerap aspirasi.
“Semua ada di desa. Kalau desa kuat, Indonesia kuat,” katanya, disambut tepuk tangan.
Zuhri menekankan pentingnya peran pemuda. Menurutnya, pemuda tidak bisa bergerak sendiri, melainkan harus berjejaring dengan ormas dan organisasi masyarakat.
“Kalau pemuda jalan sendiri, gampang goyah. Tapi kalau bersama ormas, mereka kuat dan terarah,” jelasnya.
Dalam forum ini, KNPI Bangka Barat berkolaborasi dengan BKPRMI, Pemuda Pancasila, dan ormas lain. Bagi Zuhri, kerja sama lintas kelompok ini adalah modal sosial untuk mendorong inovasi desa: dari wirausaha digital, wisata lokal, hingga gerakan literasi.
Masalah klasik Bangka Belitung adalah ekonomi desa yang tidak stabil. Petani kecil masih bergantung pada tengkulak, pupuk subsidi sering hilang di jalur distribusi, dan koperasi banyak yang hanya ada di papan nama.
Zuhri menegaskan solusi ada pada koperasi.
“Dengan koperasi, kebersamaan dibangun. Harga lebih adil, distribusi lebih singkat, dan keuntungan dibagi bersama,” katanya.
Ia menyinggung program Makan Bergizi (MBG) dari pemerintah pusat. Jika koperasi desa diberdayakan untuk memasok sayur, buah, dan protein bagi program itu, maka uang negara akan berputar di desa, bukan bocor keluar.
“Jangan biarkan uang desa lari keluar. Biarkan berputar di desa,” tambahnya.
Masalah putus sekolah di Bangka Belitung masih nyata, terutama di tingkat SMA. Banyak anak berhenti bukan karena biaya sekolah, melainkan biaya hidup: transportasi, makan, dan kebutuhan harian.
Zuhri menawarkan gagasan Sekolah Rakyat berbasis asrama. Model ini menampung anak-anak dari keluarga miskin, memberi pendidikan formal hingga SMA sekaligus kebutuhan dasar sehari-hari.
“Dengan sekolah rakyat, anak-anak tidak hanya bisa sekolah, tapi juga dibekali keterampilan hidup. Mereka bisa bekerja atau bahkan menciptakan lapangan kerja,” paparnya.
Baginya, pendidikan bukan hanya soal ijazah, melainkan jalan keluar dari kemiskinan struktural.
Zuhri menolak sikap pesimis yang sering melekat di masyarakat desa. Ia memberi contoh: dulu dana desa dianggap hanya proyek kecil, tetapi kini banyak desa bisa membangun jalan, jembatan, bahkan wisata.
“Optimisme adalah modal pertama pembangunan. Kalau kita hanya pesimis, peluang akan direbut orang lain,” ujarnya.
Ia menekankan pembangunan harus dimulai dari bawah, sesuai amanat sila kelima Pancasila: pemerataan keadilan sosial.
Salah satu ide paling inovatif Zuhri adalah Rumah Aspirasi Digital.
Ia mengaku tidak membangun kantor fisik, melainkan membuka jalur komunikasi lewat nomor HP dan aplikasi. Dengan begitu, masyarakat bisa menyampaikan aspirasi kapan saja, di mana saja.
“Kalau rumah aspirasi fisik, yang bisa datang hanya orang sekitar. Tapi lewat teknologi, rumah aspirasi ada di mana-mana,” katanya.
Bagi Zuhri, penggunaan teknologi adalah cara agar jarak antara rakyat dan wakilnya semakin pendek.
Liputan ini menemukan bahwa gagasan Zuhri berangkat dari realitas di lapangan:
Pupuk subsidi sering langka karena jalur distribusi panjang.
Koperasi banyak yang tidak aktif.
Putus sekolah masih menghantui anak-anak desa.
Aspirasi rakyat sering terputus di jalan birokrasi.
Zuhri mencoba menawarkan solusi berlapis: koperasi, sekolah rakyat, kolaborasi pemuda, optimisme desa, hingga rumah aspirasi digital.
Liputan ini bukan hanya tentang satu politisi. Ia adalah cermin tentang desa Bangka Belitung hari ini: penuh masalah, tetapi juga penuh peluang.
Feature memberi wajah manusia: suara pemuda, guru, dan warga desa yang mendambakan perubahan.
Investigatif mengurai masalah laten: subsidi bocor, koperasi mati, anak putus sekolah.
Mendalam mengurai solusi: gagasan koperasi, sekolah rakyat, optimisme, rumah aspirasi digital.
Makna yang ditarik: pembangunan tidak bisa menunggu. Desa harus dilihat sebagai pusat, bukan pinggiran. Jika desa maju, Indonesia ikut maju.
Saat menutup pidatonya di Gedung Sriwijaya, Zuhri kembali menegaskan pesannya:
“Kalau kita tidak mulai dari desa, kita akan terus tertinggal. Semua ada di desa. Desa kuat, Indonesia kuat.”
Pesan itu sederhana, tetapi mengandung arah strategis: desa bukan lagi penonton, melainkan aktor utama masa depan Bangka Belitung.
(Didi/Nauval/tim KBO)