Rabu, September 10, 2025
Google search engine
BerandaAdat & BudayaSembahyang Rebut, Tradisi Sakral yang Kini Jadi Agenda Budaya Bangka Barat.

Sembahyang Rebut, Tradisi Sakral yang Kini Jadi Agenda Budaya Bangka Barat.

InfoombbsiberIndonesia com.
Muntok, Bangka Barat –Ribuan warga lintas agama dan etnis memadati halaman Kelenteng Kong Fuk Miao, Muntok, Selasa (September 2025), untuk mengikuti Sembahyang Rebut atau Chit Ngiat Pan, sebuah ritual masyarakat Tionghoa yang sudah berakar ratusan tahun di Bangka Belitung. Tradisi ini resmi diumumkan Bupati Bangka Barat Markus, S.H. sebagai agenda wisata budaya daerah mulai tahun depan, dengan dukungan dana pelestarian senilai Rp1,2 miliar.

“Sembahyang Rebut adalah adat istiadat yang harus kita jaga. Tradisi ini bukan hanya milik satu etnis, tetapi sudah menjadi warisan bersama masyarakat Bangka Barat. Tahun depan akan kita masukkan dalam kalender pariwisata budaya,” ujar Markus dalam sambutannya.

Ketua panitia perayaan menambahkan, “Upacara ini bukan sekadar pesta rebutan. Sesajen dipersembahkan untuk leluhur dan roh yang tak dikenal, sebagai bentuk doa agar masyarakat dijauhkan dari marabahaya, serta mempererat persaudaraan. Di sini, semua boleh ikut, tanpa memandang agama maupun suku.”

Acara dimulai sejak sore, saat umat Khonghucu menyalakan dupa dan berdoa khidmat di depan altar yang penuh sesajen: buah, sayur, kue, dan lauk pauk. Usai doa, panitia memberi tanda. Seketika, suasana berubah menjadi riuh. Warga berebut sesajen, mulai dari anak-anak hingga orang tua.

Bagi masyarakat, rebutan bukan sekadar mencari makanan. Ia diyakini membawa keberkahan. “Kalau dapat buah dari sembahyang, rezeki akan lancar,” kata Wati, warga keturunan Jawa yang sejak kecil ikut dalam tradisi ini.

Amir, seorang nelayan Melayu, ikut meramaikan tanpa ragu. “Saya Muslim, tapi setiap tahun ikut. Ini budaya, bukan soal agama. Kita semua saudara,” ujarnya.

Sembahyang Rebut diyakini masuk ke Bangka sejak abad ke-18, dibawa perantau Tionghoa yang bekerja di tambang timah. Dalam kepercayaan, bulan ketujuh Imlek adalah saat pintu alam baka terbuka, arwah leluhur kembali ke dunia, dan harus disambut dengan doa serta sesajen agar mendapat kedamaian.

Makna filosofisnya antara lain:

Menghormati leluhur dan roh tak dikenal.

Menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan alam baka.

Mengajarkan berbagi dan kebersamaan lewat rebutan.

Mengusir kesialan agar masyarakat terhindar dari mara bahaya.

Pemerintah daerah melihat potensi Sembahyang Rebut sebagai daya tarik wisata budaya. Festival ini mampu menarik pengunjung, menggerakkan UMKM lokal, dan memperkuat identitas Bangka Barat.

Namun para budayawan mengingatkan agar nilai spiritual jangan sampai hilang. “Budaya ini harus dilestarikan dengan hati, bukan sekadar dijadikan tontonan wisata. Kesakralannya harus tetap dijaga,” ujar Pak Alfani, pemerhati budaya lokal.

Meski setiap tahun ribuan orang hadir, ada kekhawatiran bahwa generasi muda lebih tertarik pada budaya pop global ketimbang tradisi leluhur. Panitia dan tokoh masyarakat menilai perlu ada upaya pendidikan budaya di sekolah, dokumentasi tradisi, dan pemanfaatan media untuk memperkenalkan nilai-nilai luhur Sembahyang Rebut.

“Anak-anak harus tahu, ini bukan hanya rebutan makanan. Ada doa, ada filosofi, ada kebersamaan. Kalau tidak, budaya ini akan hilang, tergilas zaman,” kata Ketua Panitia.

Dengan masuknya Sembahyang Rebut sebagai agenda resmi budaya, masyarakat berharap tradisi ini bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi menjadi simbol identitas Bangka Barat yang plural dan harmonis.

(Didi/Tim KBO)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_img
- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments