Kamis, September 18, 2025
Google search engine
BerandaAdat & BudayaWartawan Sejati: Antara Etika Profesi dan Realitas Ekonomi

Wartawan Sejati: Antara Etika Profesi dan Realitas Ekonomi

Oleh: Catatan Mahmud Marhaba/LPPJ Westrainstitute

infoombbsiberindonesia com.
“Wartawan Sejati: Amplop NO, Integritas YES!”
Seruan sederhana ini justru memantik beragam respon dari publik, khususnya para pengikut akun Facebook Dewan Pers. Ada yang mendukung penuh semangat integritas tersebut, namun tidak sedikit pula yang melontarkan kritik tajam dengan menyuarakan realitas pahit yang dialami wartawan di lapangan: honorarium tidak jelas, perusahaan pers yang abai terhadap kesejahteraan, hingga keraguan atas peran Dewan Pers itu sendiri.

Tulisan ini saya hadirkan bukan untuk membela atau menyalahkan pihak tertentu, tetapi sebagai upaya menjembatani kegelisahan publik dengan regulasi yang berlaku. Saya percaya bahwa penting bagi kita untuk melihat persoalan ini secara utuh: antara etika profesi, realitas ekonomi, dan batas kewenangan Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Etika Profesi vs Realitas Ekonomi

Salah satu komentar yang muncul dalam unggahan tersebut berbunyi:

“Dewan Pers kerjanya dan keputusannya jangan bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.”

Komentar ini tampak sederhana, namun sesungguhnya mencerminkan kegelisahan mendasar para wartawan: apakah keputusan Dewan Pers benar-benar berpijak pada undang-undang, atau justru melahirkan aturan tambahan yang dianggap memberatkan?

Mari kita lihat rujukan hukumnya. Dalam Pasal 15 ayat (1) UU Pers No. 40/1999, ditegaskan:
“Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional dibentuk Dewan Pers yang independen.”

Kemudian pada Pasal 15 ayat (2) disebutkan tugas Dewan Pers, antara lain:

1. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain,
2. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik,
3. memberi pertimbangan serta menyelesaikan pengaduan masyarakat terkait pemberitaan,
4. meningkatkan kualitas profesi kewartawanan,
5. hingga mendata perusahaan pers.

Artinya, Dewan Pers bukan lembaga eksekutif yang mengatur kesejahteraan wartawan secara langsung. Ia lebih berperan pada aspek etika, kemerdekaan, pengembangan profesi, dan mediasi.

Namun di lapangan, publik sering menilai Dewan Pers melahirkan aturan yang justru membebani, misalnya verifikasi perusahaan pers atau Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang menambah beban administratif maupun biaya. Padahal, setiap kebijakan Dewan Pers seharusnya tetap dalam koridor Pasal 15 UU Pers—tidak boleh melewati mandat undang-undang.

Kode Etik dan Tantangan Lapangan

Dalam Pasal 7 ayat (2) UU Pers disebutkan:
“Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) secara tegas melarang wartawan menerima suap atau gratifikasi. Di sinilah pesan “Amplop NO, Integritas YES!” menemukan pijakannya. Wartawan yang menerima amplop akan sulit menjalankan fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf (c) UU Pers, yaitu:

“Pers melaksanakan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.”

Bagaimana mungkin pers bisa kritis jika keberaniannya sudah dibeli oleh amplop?

Namun di sisi lain, realitas ekonomi memaksa banyak wartawan hidup dalam kondisi serba terbatas. Banyak perusahaan pers, terutama skala kecil, tidak mampu memberi gaji tetap. Wartawan hanya mengandalkan honor per berita, atau sekadar uang transport. Inilah yang memicu benturan antara idealitas etika dan realitas kesejahteraan.

Penting ditegaskan, UU Pers No. 40/1999 tidak mengatur detail soal gaji atau kesejahteraan wartawan. Urusan itu masuk ke ranah perusahaan pers sebagai pemberi kerja, dan diatur dalam UU Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003 jo. UU Cipta Kerja 11/2020).

Kebebasan dan Tanggung Jawab

Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa kebebasan berpendapat dijamin sepenuhnya oleh Undang-Undang, termasuk kritik terhadap Dewan Pers. Namun kebebasan itu juga menuntut tanggung jawab: setiap komentar yang kita lontarkan sebaiknya tidak hanya berhenti pada keluhan, tetapi juga diarahkan untuk menemukan solusi.

Melalui seri catatan ini, saya akan terus menelaah satu per satu tanggapan pembaca atas postingan Dewan Pers. Harapannya sederhana: agar kita semua lebih tercerahkan mengenai peran, wewenang, dan keterbatasan Dewan Pers, sekaligus memahami dimana letak tanggung jawab perusahaan pers, organisasi pers, dan wartawan itu sendiri.

Sebab, tanpa pemahaman yang jernih, kita hanya akan terus saling menyalahkan. Dan jurnalisme yang sehat hanya bisa lahir dari integritas wartawan yang kokoh, perusahaan pers yang bertanggung jawab, serta ekosistem pers yang memahami fungsi dan tugasnya masing-masing.

Salam Kompeten ( KBO Babel)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_img
- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments