Sabtu, Oktober 18, 2025
Google search engine
BerandaNasionalDokter Ratna Gugat UU Kesehatan ke MK: Rekomendasi MDP KKI Tak Bisa...

Dokter Ratna Gugat UU Kesehatan ke MK: Rekomendasi MDP KKI Tak Bisa Diuji, Hak Konstitusional Dilanggar

infoombbsiberindonesia com.
JAKARTA — Seorang dokter anak asal Bangka Belitung, dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., M.Kes., melawan sistem hukum yang ia nilai tidak adil. Melalui kuasa hukumnya, Hangga Oktafandany, S.H., ia mengajukan permohonan uji materiil Pasal 307 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan itu teregistrasi dengan Nomor Perkara 175/PUU-XXIII/2025, dan sidang pemeriksaan pendahuluan telah digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, pada Jumat (10/10/2025).

Permohonan tersebut bukan sekadar soal pasal dan frasa hukum, melainkan tentang nasib, kehormatan profesi, dan hak konstitusional seorang dokter yang merasa dikriminalisasi oleh sistem tanpa ruang pembelaan.

Awal Mula: Rekomendasi MDP KKI yang Jadi Dasar Penetapan Tersangka
Kasus ini berawal dari rekomendasi Majelis Disiplin Profesi Konsil Kesehatan Indonesia (MDP KKI) yang menyatakan dr. Ratna melanggar standar profesi. Rekomendasi tersebut kemudian diteruskan ke penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kepulauan Bangka Belitung, atas permintaan penyidik berdasarkan Pasal 308 UU Kesehatan.

Dari surat rekomendasi itulah, penyidik menetapkan dr. Ratna sebagai tersangka. Ironisnya, menurut kuasa hukum, rekomendasi tersebut tidak pernah bisa diuji kebenarannya melalui mekanisme hukum apa pun—baik peninjauan kembali (PK) maupun upaya administratif.

“Rekomendasi dari Majelis tidak terdapat ruang untuk diuji kebenarannya melalui peninjauan kembali atau upaya hukum lainnya,” tegas Hangga Oktafandany di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.

Pasal yang Dipersoalkan: Frasa Tunggal yang Menutup Jalan Keadilan
Substansi permohonan berfokus pada Pasal 307 UU Kesehatan, yang berbunyi:
“Putusan dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri dalam hal:
a. Ditemukan bukti baru;
b. Kesalahan penerapan pelanggaran disiplin; atau
c. Terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan yang diperiksa.”

Menurut Pemohon, frasa “Putusan dari majelis” dalam pasal ini menimbulkan persoalan serius. Norma tersebut hanya memberikan hak PK terhadap putusan, tetapi tidak mencakup “rekomendasi” yang memiliki dampak hukum serupa.

Padahal, dalam kasus dr. Ratna, yang diterbitkan oleh MDP KKI bukanlah putusan, melainkan rekomendasi. Artinya, tidak ada mekanisme hukum untuk menguji keabsahan rekomendasi tersebut, meskipun dampaknya jauh lebih berat—yakni penetapan sebagai tersangka.

“Pengecualian ini telah membatasi hak Pemohon untuk menguji kebenaran rekomendasi dari majelis yang ditujukan khusus kepada dirinya,” terang Hangga.

Tidak Ada Sidang, Tidak Ada BAP, Tidak Ada Salinan Rekomendasi
Dalam permohonan yang dibacakan, dr. Ratna juga mengungkapkan kejanggalan proses yang terjadi. Ia menyebut tidak pernah ada Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tidak pernah ada sidang pelanggaran standar profesi, dan tidak pernah menerima salinan resmi rekomendasi majelis.

“Namun rekomendasi itu secara sepihak menetapkan dua status hukum kepada saya: dinyatakan melanggar standar profesi, dan diteruskan ke penyidikan,” tulis Pemohon dalam berkas permohonan.

Lebih jauh, dr. Ratna menilai ada perlakuan diskriminatif. Dari delapan dokter yang diperiksa dalam kasus serupa, hanya dirinya yang direkomendasikan untuk diteruskan ke penyidikan. “Tujuh dokter lain tidak disebut diteruskan atau tidak diteruskan,” ujarnya.

Dampak Psikologis dan Profesional: Terhukum tanpa Putusan
Status hukum tersebut, menurut dr. Ratna, tidak hanya merugikan profesinya sebagai dokter anak, tetapi juga menghancurkan ketenangan hidup dan reputasi keluarganya.

Keluarga besar, kata dia, kini menanggung stigma sosial akibat pemberitaan dan persepsi publik yang seolah-olah dirinya telah bersalah.

“Saya dan keluarga hidup dalam tekanan. Saya wajib lapor ke polisi seminggu sekali, bahkan dulu dua kali seminggu. Ini jelas merampas kemerdekaan saya,” ucapnya.

Akibat status tersangka tersebut, rencana dr. Ratna untuk melanjutkan pendidikan subspesialis juga terganggu.

“Dua status hukum itu—melanggar standar profesi dan tersangka—pasti menjadi bahan evaluasi otoritas pendidikan. Saya bisa kehilangan kesempatan melanjutkan karier akademik,” ujarnya dalam permohonan yang dibacakan di hadapan hakim.

Hak Konstitusional yang Dilanggar
Pemohon menilai, Pasal 307 UU Kesehatan yang tidak memberi ruang koreksi terhadap rekomendasi MDP KKI telah melanggar hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh:

• Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

• Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Menurutnya, perlakuan hukum yang berbeda terhadap “rekomendasi” dan “putusan” telah meniadakan asas kesetaraan dan kepastian hukum.

Permintaan Pemohon kepada MK
Dalam petitumnya, dr. Ratna memohon agar Mahkamah:

1. Menyatakan Pasal 307 UU Kesehatan sepanjang frasa “Putusan dari majelis” bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1); dan
2. Menambahkan frasa “dan/atau Rekomendasi dari majelis” agar berbunyi:

“Putusan dari majelis dan/atau Rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri dalam hal…”

Dengan demikian, setiap keputusan majelis, baik berupa putusan maupun rekomendasi, dapat diuji melalui mekanisme hukum yang adil dan setara.

Catatan Hakim MK: Argumen Belum Kuat
Sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dengan anggota Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih, berjalan tenang namun penuh catatan penting.

Hakim Enny Nurbaningsih menilai, permohonan Pemohon belum menguraikan secara jelas hubungan antara pasal yang diuji dan pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji.

“Kalau saya baca di sini, pertentangannya dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), tapi tidak jelas bagaimana bentuk pertentangan itu. Itu harus dibangun argumentasi yang kuat sekali supaya sampai ke petitum,” tegas Enny.

Sementara itu, Hakim Arief Hidayat mengingatkan Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan tersebut harus sudah diterima Mahkamah paling lambat Kamis, 23 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.

Jalan Panjang Menuju Keadilan
Perkara ini membuka babak baru dalam penegakan disiplin profesi di sektor kesehatan. Kasus dr. Ratna menjadi refleksi atas kekaburan batas antara rekomendasi administratif dan keputusan hukum yang bisa berujung pada sanksi pidana.

Permohonannya di MK bukan sekadar pembelaan pribadi, tetapi upaya memperjuangkan hak koreksi bagi setiap tenaga kesehatan yang bisa terjebak dalam prosedur hukum yang tertutup.

Jika Mahkamah mengabulkan permohonan ini, maka perubahan frasa kecil “dan/atau rekomendasi” dapat menjadi langkah besar bagi perlindungan profesi tenaga medis di Indonesia—sekaligus memperkuat prinsip equality before the law dalam praktik penegakan disiplin profesi.

(Sumber : Humas MKRI, Editor: KBO Babel)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_img
- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments