Minggu, Oktober 19, 2025
Google search engine
BerandaHukum & KriminalLaut yang Belajar Menolak: Di Balik Sunyi Tambang Tembelo.

Laut yang Belajar Menolak: Di Balik Sunyi Tambang Tembelo.

Infoombbsiberindonesia com.
Mentok, Bangka Barat — Di suatu pagi yang tenang di Laut Keranggan, Tembelok, suara ombak seolah berbisik lirih, memanggil ingatan akan masa ketika laut adalah rumah, bukan ladang tambang. Waktu berjalan, dan manusia datang membawa mesin, pipa, serta drum yang mengapung seperti dosa-dosa yang tak ingin tenggelam.

Kini, riak air yang dulu jernih telah berubah menjadi cermin keruh, memantulkan wajah keserakahan yang dibungkus dengan nama “nafkah.” Laut yang dulu menumbuhkan kehidupan kini seperti tubuh yang kelelahan, dikeruk, disedot, diperas, lalu dibiarkan sekarat.

Pada, Jumat, 17 Oktober 2025, Polres Bangka Barat turun tangan. Kapal-kapal polisi menembus ombak, membawa perintah yang sederhana tapi tegas yaitu  hentikan tambang, bongkar alat, kembalikan laut pada dirinya sendiri.

Namun, di balik langkah hukum itu, ada kisah panjang yang tak sempat diceritakan tentang manusia yang bertahan, sistem yang abai, dan laut yang akhirnya belajar menolak.

Di tepi pantai, Pak Misan, seorang nelayan tua, menatap ponton-ponton tambang yang masih bersandar di permukaan air. Ia tersenyum getir. “Dulu ikan datang tanpa diminta. Sekarang, laut seperti malu. Ia sudah kehilangan napasnya.”

Lelaki itu pernah mencoba menambang juga, bukan karena rakus, tapi karena lapar. “Kalau tidak ikut, kami dibilang bodoh. Kalau ikut, kami dibilang perusak,” ujarnya. Kalimatnya adalah cermin dari masyarakat pesisir yang hidup di antara dua gelombang: hukum dan kebutuhan.

Tambang laut di Tembelok tumbuh bukan dari ketiadaan, melainkan dari kelalaian. Bertahun-tahun, aktivitas itu berjalan tanpa izin, tanpa kajian lingkungan, tanpa kehadiran negara. Aparat datang dan pergi, tapi tambang tetap hidup, seperti luka yang tak kunjung sembuh.

Hingga hari itu, ketika suara sirene polisi menggantikan dengung mesin penyedot pasir, dan laut untuk pertama kalinya dalam waktu lama mendengar keheningan.

Penelusuran di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas tambang di kawasan Laut Keranggan telah meninggalkan dampak serius. Warna air berubah, terumbu karang hancur, dan daerah tangkapan ikan menyempit drastis.
Menurut catatan kelompok nelayan setempat, hasil tangkapan menurun hingga 70 persen sejak tambang laut mulai beroperasi tiga tahun lalu.

“Dulu, cukup satu jam di laut, kami sudah dapat dua ember ikan. Sekarang, semalam suntuk pun kadang pulang dengan kosong,” kata seorang nelayan muda, Randi (28), yang kini beralih menjadi ojek motor air.

Ironi itu menggigit ketika laut yang dulu memberi makan kini harus dibayar untuk dilalui. Alam yang dulu gratis kini dikomersialkan oleh kerakusan yang tak tahu batas.

Namun, kerusakan bukan hanya soal ekologi. Ia juga sosial. Konflik antara penambang dan nelayan kerap pecah, menimbulkan luka baru di tengah masyarakat kecil yang sebenarnya hanya ingin hidup damai. “Kami sesama orang kecil, tapi sering dibuat saling membenci,” kata Randi lirih.

Ketika Hukum Akhirnya Datang

Langkah Polres Bangka Barat turun ke lapangan menjadi penanda perubahan arah. Dalam pengawasan ketat, para penambang diperintahkan membongkar seluruh peralatan sebelum Minggu, 19 Oktober 2025.

“Hukum ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menyadarkan,” ujar seorang perwira polisi di lokasi. Ia berbicara tanpa megafon, tapi suaranya menggema di antara riak air dan wajah-wajah yang diam.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), setiap kegiatan tambang tanpa izin resmi dapat dikenakan pidana penjara hingga lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar. Tambang laut ilegal jelas melanggar aturan itu.

Namun, di Tembelok, hukum sering datang ketika semuanya sudah hancur. Ikan sudah pergi, pantai sudah keruh, dan kepercayaan warga terhadap negara sudah menipis seperti garis pantai yang terkikis tambang.

Ketika sore datang, langit Tembelok berwarna tembaga, warna yang ironis bagi laut yang telah digali untuk logam yang sama. Di atas dermaga kecil, seorang anak perempuan berdiri bersama ibunya, menatap ponton yang sedang ditarik ke darat. “Bu, lautnya nanti sembuh, kan?” tanyanya pelan.

Sang ibu menatap air yang bergelombang lembut. “Kalau manusia berhenti melukainya, laut akan sembuh,” jawabnya.

Tapi laut tidak pernah benar-benar lupa. Ia hanya diam, menunggu kesempatan untuk memulihkan dirinya atau menegur manusia dengan caranya sendiri. Karena laut tidak pernah menolak manusia; manusialah yang sering kali menolak mendengar suara laut.

Penertiban tambang di Tembelok menjadi awal kecil dari perjalanan panjang. Polisi berjanji akan menggandeng pemerintah daerah, akademisi, dan komunitas lingkungan untuk melakukan edukasi hukum dan konservasi pesisir.

Hukum, kata seorang perwira, “tidak hanya ditegakkan, tapi juga diajarkan.”
Itulah yang jarang terjadi di negeri yang kaya sumber daya tapi miskin kesadaran.

Dalam pandangan hukum lingkungan, laut bukan sekadar sumber ekonomi, tapi ruang kehidupan yang memiliki hak untuk dilindungi. Prinsip “polluter pays” siapa yang merusak, wajib memperbaiki seharusnya bukan sekadar jargon di seminar, tapi napas kebijakan di lapangan.

Jika hukum benar-benar berjalan, laut bisa pulih. Tapi jika tidak, Tembelok hanya akan menjadi catatan kaki lain dalam daftar panjang kisah laut yang dijual murah demi rezeki yang singkat.

Menjelang malam, suara mesin sudah tak terdengar lagi. Hanya debur ombak dan bau garam yang kembali memenuhi udara. Warga duduk di tepi pantai, seolah sedang menunggu sesuatu yang tak bisa dijelaskan mungkin keajaiban, mungkin penyesalan.

Tembelok kini tenang, tapi ketenangan itu mengandung tanya apakah manusia benar-benar belajar dari kesalahan, atau hanya menunggu waktu untuk mengulanginya?

Di ufuk barat, matahari perlahan tenggelam. Laut memantulkan cahaya terakhirnya, seperti isyarat bahwa ia akan memaafkan tapi tidak untuk selamanya.

“Laut ini sabar,” kata Pak Misan pelan, “tapi jangan kira ia bodoh.”

Dan di antara suara ombak yang lembut, terasa seperti ada yang berbisik dari kedalaman:
bahwa setiap pasir yang diambil tanpa izin,
adalah doa laut yang hilang menunggu untuk didengar kembali.

Didi /Belva  / TIM KBO.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_img
- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments